Karya : Rafita Ekayanti
AKU JUGA BISA BERUBAH
Aku
berjalan sambil menahan rasa sakit yang begitu menyiksa. Mencoba
lewati arus dingin nya Angin malam ibu kota yang begitu kejam hingga
mampu merasuk ke dalam Kulit ini. Entah apa yang Ku jelajahi di dingin
nya udara. Sungguh tak bisa ku jelajahi apa Ingin hati dan entah apa
yang ku cari. Semenjak saat itu , Ketika rumah tempat yang Dulunya
nyaman kini tlah berubah menjadi terali besi yang kokoh dan begitu
menyiksa Semenjak papa berpisah dengan Mamaku. Iya, hidupku kini tak
jelas kemana Ia kan ku Arah kan semuanya dulunya adalah surga bahagia
kini serasa menjadi neraka. Meski, Dengan berat hati meninggalkan
keluarga yang ku sayangi terutama Adikku, yang paling Ku sayangi. Yang
sedang berusaha melawan penyakitnya, leukemia bertahun – tahun yang telah ia tanggung selama bertahun-tahun lamanya.
Dengan celana jeans yang sobek serta gitar yang tak begitu bagus. Larut
malam mulai Menyapa. Namun, begini lah Ibu kota. Tak pernah kedengaran
sepi. Dan akhirnya aku pun Memutuskan untuk pulang. Setapak demi setapak
tlah Ku lalui. Hingga sampai lah aku di Sebuah tempat yang suram. Ya,
semenjak saat itu pula Aku memutuskan tuk tidak pulang Ke rumah. Karena,
rasanya percuma. Di sana Ku hanya bisa membuang rasa kesal ku Kepada
Papa dan Istri barunya. Hingga Aku di keluarkan dari sekolah karena
keseringan Membolos, dengan berjuta alasan. Dan kini, Aku jauh lebih
memilih tuk mengamen.
Langkah kakiku pun terhenti. Aku duduk bersandar antara kardus dan
Koran. Pandangan ku tertuju kepada tiga Pemuda yang sedang bermain catur
dan di sampingnya Berserakan kulit kacang. Aku terdiam merasakan
keletihan setelah mengamen di tengah Terik matahari yang panasnya begitu
menyorot di lampu merah Kota. Mengucurkan Keringat di tubuh ini.
Menghempaskan lelah yang tak tertahan olehku. Demi mencari Kepingan
logam dari para pengendara yang terhenti di lampu merah.
''Shandy, kenapa Lo ?’’
Ucap seorang pemuda kurus yang tampilannya acak-acakan. Iya dialah Eroz. Kawan
ku yang selalu setia mendengarkan segala cerita kepahitan dunia ku.
“Emm, Gue gak kenapa-napa kok udah lah nyantai aja’’ balasku.
Akhirnya eroz pun pergi berlalu meninggalkan ku. Sungguh kini aku tak
bisa tidur Karena tiba-tiba saja aku merasakan rasa sakit yang begitu
sangat menyiksa menusuk Tulang-tulang ku menancap begitu teriris.
Keringat ku pun mulai menetes di wajah ku. Ku coba raba saku celanaku.
Ku coba mencari sebuah bungkusan plastic yang berisikan Serbuk
Putih. Iya, ini lah Aku sekarang. Semenjak keluargaku pecah belah. Aku
tak tahu Apa yang Harus ku lakukan. Hingga sampai akhirnya , kini Ku
terjerumus ke lubang Hitam yang Begitu menyiksa. Mulai dari
mabuk-mabukan, dan sampai akhirnya ku mulai mencicipi Apa itu namanya
Narkoba,Alkohol & sejuta rona kepahitan dunia kelamku.
Mentari pagi mulai membangunkan Ku. Tak terasa semalam aku ketiduran
karena Menahan rasa sakit Ku. Aku pun segera bergegas untuk mengamen di
lampu merah Kota.
Tak
terasa waktu sudah menunjukkan pukul 07.00 wib. Aku segera bergegas. Ku
coba Langkah kan kakiku ku dapati ternyata teman – teman ku sudah
pergi. Aku pun langsung Menuju ke lampu merah yang ada di daerah yang
biasanya tlah ku arungi untuk mengamen
Kendaraan
demi kendaraan tlah ku hampiri begitu melelahkan terik mentari hari ini
Begitu tak bersahabat. Hingga tak terasa waktu tlah berlalu akhirnya
aku memutuskan Untuk makan siang di warung di pinggiran jalan. Sungguh
hari ini aku lelah sekali Akhirnya aku memutuskan untuk pulang. Walaupun
uang yang ku dapat kan hari ini tak Begitu banyak namun, tak mengapa
lah. Mungkin aku terlalu kelelahan. Jadi, tak Mengapa lah untuk hari ini
aku berhenti sejenak daripada ntar aku bisa pinsang di jalanan Nanti
urusannya jadi panjang. Kuputuskan untuk kembali. Kalau saja aku selemas
ini Akan ku tahan semua ini. Tapi, tak mengapa biarkan saja ku tunggu
hingga aku sehat.
Sesampainya di rumah aku menyandarkan tubuhku di kursi. Sungguh rasanya
kepala Ini pusing sekali. Badan ini juga terasa lemas. akhirnya aku
tidur walaupun itu masih Pukul 01.00 siang. Dan seharusnya aku masih ada
di lampu merah untuk mengamen tapi, Aku malah di sini. Tapi, iya
sudahlah tak mengapa lagian juga kalau aku terusin ngamen Aku keburu
nggak kuat lagi. Mendingan sekarang aku coba untuk beristirahat.
Tak terasa waktu cepat berlalu aku terbangun kan oleh celotehan
teman-teman ku yang Sedang asyik bermaain catur. Ku lihat jam di tangan
ternyata sudah jam 19.27. wib. Sungguh melelahkan. Ku coba bangun dan
mengambil gitar Ku. Ku putuskan untuk Kembali mengamen ke jalanan
sekitar rumah. Satu per satu rumah telah ku jelajahi Sambil Melantunkan
sebuah lagu ciptaan ku. Iya, walaupun tak seberapa bagus tapi, aku
Bangga Karena bisa menciptakannya. Dan aku pun berniat untuk menjadi
penyanyi. Tapi, Aku pun kembali berpikir tak mungkin lah ini lah Aku
seorang pengamen. Jangan Kan Untuk itu, untuk membuat bangga Keluarga
Saja Aku nggak bisa. Tapi, inilah Aku. Aku Juga manusia yang memiliki
hak untuk bermimpi. Semampu Ku, Apapun itu yang Terjadi, Aku ingin
terus berjuang walaupun hingga sampai saat ini Aku pun belum bisa Untuk
memperbaiki Diriku sendiri menjadi yang terbaik.
Aku menjelajahi tempat demi tempat, mencoba menyanyikan lagu bersama
gitar ku Demi mendapat kan koin demi koin. Dan mungkin, bagi mereka koin
itu tak begitu berati Tapi, untuk ku semuanya itu sangat lah berati.
Karena, dengan itu Aku dapat bertahan Hidup di kejamnya dunia ini. Tiada
yang tinggi harapku, cukup asalkan bisa untuk makan Saja itu sudah baik
untukku. Langkah kakiku tetap melangka, Tak peduli di dinginnya Malam
yang begitu kejam, yang terasa menusuk kedalam tulang-tulang ku. Tapi,
ini lah Aku semuanya ini sudah menjadi suatu yang biasa bagiku. Ku coba
hampiri kemacetan di Lampu merah. Mobil ke mobil ku hampiri, seiring
langkah kaki ku melangkah seiring Bola mataku menatap. Tak Ku sangkah
ketika Aku menghampiri sebuah mobil berwarna Hitam, di saat ku bernyayi
dan memainkahkan gitar ku, kaca mobil pun terbuka. Ternyata, orang di
dalam mobil itu adalah Papa. Aku sungguh terkejut jarang sekali di Saat
aku mengamen mobil-mobil yang ku hampiri adalah orang yang ku kenal
apalagi Papa. Dia terlalu sibuk dengan segala urusan bisnis nya. Dan hal
ini lah yang membuat Ku tak betah untuk dirumah. Aku sungguh terkejut,
aku langsung berlari meski, papaku Memanggilku. Ku dapati Beliau turun
dari mobil ketika langkah Ku sudah cukup jauh Darinya. Tapi, Syukurlah
lampu merah telah berlalu, dan Ku yakin Papaku tak akan Mengejarku
karena pastinya ia akan di di tempur oleh klakson kendaraan di
belakannya. Ku coba berlari hingga sampailah ku di tepi jalanan sepi,
gelap tiada berarah. Hampir saja Papa menghampiriku. Pasti Beliau akan
mengajakku untuk pulang. Bukannya Aku tak Mau pulang, tapi aku belum
siap saja untuk pulang ke rumah. Walaupun Aku ingin Pulang , Aku
sangatlah merindukan Chiera, Adik perempuanku. Bagaimana keaadaannya
Sekarang. Sungguh Aku merindukan nya tetapi, suasana rrumah lah yang
membuatku Bertahan untuk tetap hidup seperti ini. Aku masih belum cukup
siap untuk menerima Kehadiran Tante Ghea sebagai Isteri baru Papa. Aku
masih cukup menyesali keputusan Mama dan Papa ku yang memutuskan untuk
berpisah. Dan kini mamaku masih sendiri, ia tidak kunjung menikah
seperti yang di lakukan oleh papaku. Sampai saat ini ia masih betah
untuk sendiri. Mamaku memutuskan untuk tinggal bersama om dan tante ku.
Walaupun, begitu kadang-kadang aku masih menyempatkan diri untuk
melihatnya meskipun, tak begitu cukup keberanianku untuk menemui nya.
Karena, jika aku menemuinya pasti yang Dia lakukan adalah sama seperti
yang dilakukan oleh papa yaitu, menyuruh ku pulang. Pikiriranku adalah
hal yang sama. Maka, dari itu aku tetap bertahan seperti ini. Walaupun
mungkin awal yang berat bagiku. Tapi, inilah pilihanku.
Seiring langkah kakiku berhentak, tak terasa aku sampai di tempat yang
begitu jauh, di jalan yang sepi dan jarang ku lewati. Aku bingung tak
terkendali hatiku terus saja bertanya-tanya dimana dan akan kemana aku
kini. Ku lihat di depan seberang jalanan yang ku lewati ada empat orang
laki-laki. Ketika ku coba lewat, mereka menghampiriku. Ku coba tenangkan
hatiku memcoba percaya bahwa takkan ada apa-apa. Langkah kaki mereka
semakin mendekat padaku.
“ Mau apa kalian ?’’ Tanyaku pada mereka.
“ kalau lo mau lewat sini bayar dulu sama kita-kita” jelasnya.
Mereka mencoba untuk membentakku namun, aku tak kunjung memberikan
hasil mengamenku kepada mereka semua. Namun, dari mereka tak terima
terhadap perlakuanku yang kunjung juga menuruti permintaan mereka semua.
Tiba-tiba hantaman kuat meleset di perutku. Sungguh menyakitkan. Mereka
beranggotakan empat orang sedangkan aku hanya sendiri. Kemudian
hantaman itu meleset kembali di pipi sebelah kiri ku. Sungguh sakit
rasanya. Ku coba melawat tapi, apa dayaku tak dapat ku imbangi kekuatan
mereka semua. Hantaman demi hantaman menerpa kuat serta menyakitkan.
Tubuh ini rasanya sudah lemas tak terkendali hingga akhirnya aku
terjatuh tepat menghadap di depan kaki salah satu dari mereka. Karena
mereka melihatku sudah tak berdaya lagi menghadapi mereka akhirnya
mereka semua meninggalkanku dengan mengambil uang hasil mengamenku.
Mereka berlalu tanpa rasa peduli sedikitpun kepada diriku yang telah tak
berdaya karena ulah mereka semua. Ku coba menahan sakit di tubuh ini.
Ku ingin berdiri namun, tetap saja tak kuat untuk ku menahan sakit ini.
Ku coba diam dan tetap mencoba untuk meredakan rasa sakit di tubuh ini.
Dan akhirnya beberapa menit kemudian aku berusaha untuk berdiri.
Perlahan demi perlahan meski sakit ini tetap saja enggan untuk pergi. Ku
coba berdiri dan melangkah meskipun langkah kaki ku tetap saja masih
tersengal dan tertatih-tatih. Sungguh sepi suasana jalanan ini. Ingin
meminta pertolongan tak ada orang. Karena, jarang sekali ku lewati
jalanan ini. Aku putuskan untuk berbalik dan kembali daripada aku
kebinggungan nantinya. Ataupun malahan aku tak bisa pulang dan akhirnya
aku lalui sampai di jalanan lampu merah dimana tempat ku mengamen
sebelumnya. Aku pun bingung, bagaimana jika aku tak sadarkan diri
dijalanan. Apa jadinya aku nanti. Bathin ini jadi bingung tak
terkendali.
Ketika ku sampai di lampu merah tempat ku mengamen aku bertemu Hendra,
dia teman ku yang juga tinggal bersama denganku dan juga teman-temanku.
Hendra pun menghampiriku dan berusaha menolongku hingga kami sampai di
rumah di mana kami tinggal. Ku baringkan tubuh ini. Sakit sekali
rasanya. Hatiku terus bertanya apa yang terjadi ? kenapa hari-hariku
belakangan ini banyak sekali kendalaku untuk menjalani aktivitas
sehari-hariku. Ada apa ini ? sungguh aku tak ingin terus-terusan seperti
saat ini. Pikiranku kembali di dalam galaksi arakan kabut bayang-bayang
papa. Sebenarnya aku ingin sekali bertemu dan berkumpul kembali
dengannya. Aku kangen banget ma adikku, Chiera. Bagaimana dia sekarang ?
aku kangen banget suasana rumah. Aku ingin pulang ke rumah tapinya aku
belum siap untuk melakukannya meskipun, papa mengharapku untuk segera
pulang. Padahal kalau di pikir-pikir kembali apabila aku pulang ke rumah
tujuan ku lebih jelas aku bisa kumpul lagi sama papa, Chiera, dan tante
Irene. Ya, tante Irene kini, menjadi keluargaku ketika papa memutuskan
untuk menikah dengannya. Jika, aku pulang, setidaknya aku bisa jaga
chiera, adikku. Walaupun tanpa kehadiran mama tapi, aku ingin bertemu
adikku, Sungguh aku sangatlah menyayanginya, dia adalah adik perempuan
yang luar biasa bagiku di dalam keadaan apapun, situasi dan kondisi
apapun dia selalu ada di setiap langkah ku. Dia semangat ku. Apapun aku
rela asalkan chiera bahagia. Dia anugerah terindah yang tuhan berikan
kepadaku.
Dia
adalah lentera yang selalu tegar berpijar di dalam kehidupan kelam ku
di setiap arah dan tujuan yang ku tempuh ia selalu setia mengikuti tak
pernah lelah dan terhenti. Dia adalah semangat yang luar biasa untukku.
Sungguh aku merasa beruntung karena aku memiliki adik sepertinya, adik
yang siap menerima sejuta cerita ku.
Namun, aku tak sepenuhnya tersenyum tak seluruhnya bahagia dengan
semuanya ini. Adik ku yang terlihat manis, kuat dan tegar itu sebenarnya
ada saat dia lelah, dan juga tak berdaya. Bagaimana tidak, semuanya itu
tak sesempura yang dibayangkan. Tepatnya sekitaran kurang lebih empat
tahun yang lalu di saat dokter menvonis adikku itu menderita leukemia.
Tapi, dia lah, chiera adikku satu-satunya, adikku yang paling hebat ia
kan selalu mencoba dan berusaha untuk kan tetap berdiri tegak meskipun
langkah nya tersengal ataupun ia harus merasakan sakitnya terjatuh
sebelum sampai tujuannya. Tapi, ia kan tetap berusaha untuk dapat
berdiri dan berlari bahkan melompat tak peduli waktu mengikis waktu yang
tersisa untuknya. Senyuman manisnya seakan-akan membuat ia kelihatan
kuat, tegar, sehat tanpa sakit sedikit pun yang menghujam menghampirinya
walaupun sesakit apapun itu. Sungguh sulit sekali untuk ku bayangkan.
Bagaimana jika aku berada di posisi chiera. Aku tak menjamin aku bisa
setegar dan sehebat adik semata wayangku itu. Dan bukan hanya itu dia
orang yang selalu menyempatkan diri untuk mendengarkan segala cerita dan
keluh kesahku. Padahal seharusnya aku yang harusnya mampu untuk
menempatkan posisi itu karena aku adalah seorang kakak baginya.
Tak terasa aku melambung dengan lamungan hinggaku tak peduli dengan
rasa sakit akibat pukulan tadi. Daripada tak lebih baik aku istirahat
saja dulu ku pejamkan kedua mataku mencoba hilangkan rasa sakit ini
sejenak dan mencoba mengusirnya. Agar ia tak mampu menyiksa jiwa dan
diri ini. Dan mungkin dengan tidur rasa sakit ini akan hilang.
Mencoba
merengkuh bayangan di atas pijakan yang tak jelas dimana. Ku coba ikuti
alus jalan yang menyelipkan cahaya yang redup dan tak sanggup ku
jelaskan. Ku coba cari dan mengejar kilatan cahaya putih itu. Ku coba
berjalan dengan perlahan dan cahaya terang itu kini tlah aku temukan. Di
sini sepi hanya aku sendiri ku coba jelajahi pandanganku dan akhirnya
di pojok sana dapat teraba oleh galaksi pandanganku. Dapat ku lihat
terlihat seorang gadis ia sedang duduk sendiri. Dan ia duduk
membelakangi arah langkah ku. Ku coba hampiri dan dilihat dari belakang
sepertinya aku mengenal gadis itu dan aku yakin kalau tak salah itu
chiera, adihkku dan hatiku berkata benar sehingga menarik raga ini untuk
bergegas memastikan ku coba langkahkan kaki menghampirinya.
“adik… chiera” Sapa ku padanya.
Dan
ia pun berbalik arah memandangku. dan tak salah firasatku ia adalah
chiera, adikku. Aku sangat kehilangan sosok nya selama aku
meninggalkannya untuk memilih kehidupanku seperti saat ini. Ku coba
melihatnya. Sungguh aku merindukannya aku sangat lah merindukannya dan
memanglah benar-benar merindukannya. Dia Chiera, adikku. Dia benar-benar
berbeda tak ada lagi wajah pucat seperti seseorang yang sakit, ia kini
mampu berdiri dengan biasa tanpa menahan rasa sakit. Tak ada lagi
kesedihan di tatapan matanya. Aku merindukan nya dan ku yakin ia telah
sembuh. Ia adalah adikku yang dulu yang kuat, sehat layaknya gadis
seusianya ia tumbuh menjadi gadis yang cantik, tinggi dan sangatlah
manis. Dia adikku. Ia telah sembuh tak dapat ku tahan kerinduan ini. Ku
peluk adikku, Chiera seakan tak ingin berpisah lagi dengannya. Aku
merasakan diriku yang dulu di saat semuanya jauh dari cerita yang begitu
rumit dan membingungkan ini. Aku sangatlah bahagia aku merasa sangat
lah menyesal karena aku
telah
pergi jauh darinya, dan kehidupanku yang sempurna dan memutuskan untuk
lebih memilih kehidupanku yang rumit dan tak begitu jelas kemana jalan
akhir nya kan bermuara. Aku melihatnya, adikku. Sungguh sangat lah Ku
ingin kan kembali menjalani tawa dan kembali menggoreskan semua
kebahagiaan itu. Aku ingin pulang aku kangen papa, mama, chiera, tante
ghea. Tiada kata satupun yang terucap dari mulut chiera. Sungguh aku tak
mengerti padahal sebenarnya aku tahu ada begitu banyak kata yang
terselip yang ingin ia katakana padaku. Perlahan tapi pasti setelah lama
menunggu kata yang tak kunjung terucap dari chiera bayanganku pun mulai
memudar. Ku coba teriak memanggil nya namun, semuanya terlanjur hilang.
Hilang tak berbekas semua bayangan itu lenyap berarah. Ku coba rengkuh
lagi, mencari dan terus mencari namun, tak kunjung ku dapati. Hingga ku
coba dengarkan suara, suara yang memanggilku. Kucoba rengkuh semua suara
itu. Merayap senyap namun perlahan jelas.
“shandy…”
Aku mendengarkan seseorang memanggilku.
“kakak di sini Ra”
Susah
payah aku mencoba temukan panggilan itu. Hingga sampai pada akhirnya
aku mendapati bayangan yang tak begitu jelas dan sedikit mengabur. Windy
dan Radith ternyata sudah berada tepat di hadapanku.
“loe kenapa ?”
Tanya radith..
“emm, gue tadi mimpi ketemu sama adik gue tapi, adik gue nggak bilang apa-apa
sama gue. Gue bingung. Sumpah gue kangen banget”
jelasku pada mereka.
“loe beneran nggak kenapa-napa ? yakin nggak mau pulang ?”
Tanya radith.
“Mental gue nggak cukup ada sejuta bayangan yang bikin gue selalu takut buat pulang
Ucapku sembari meyakinkan mereka.
Mereka pun kemudian berlalu dariku. Sungguh tak ku percaya mimpi itu
serasa nyata bagiku. Hingga aku kembali memikirkan nya hati ku bertanya “apa aku harus pulang ?”
Namun,
selalu saja rasa tak yakin ini kembali mengoncang raga ini. Aku takut
kalau aku nggak punya waktu banyak untuk itu. Namun, inilah aku rasa tak
yakin ini sanggat lah kuat untuk mengalahkan rasa inginku ini. Tapi,
bagaimana pun aku masih membutuhkan mereka. Hati ku pun terurai untuk
melakukannya. Setelah lama ku pikirkan akhirnya dengan tekad dan
keyakinan akhirnya aku kan memutuskan untuk pulang ke rumah besok pagi.
Dan aku takkan membatalkan niatku ini. Tekadku sudah kuat, aku tak mau
kehilangan mereka terlalu lama. Akhirnya malam ini juga aku bersiap-siap
untuk mengemasi barang-barang ku untuk pulang kerumah. Setelah semuanya
sudah beres ku dapati jam di tangan ternyata sudah jam 21.00 wib.
Akhirnya aku putuskan untuk tidur.
Mentari pagi menyongsong hari. Sinarnya menyapa ku pagi ini. Melintasi
kejora harap dan semangat. Meluluhkan kebekuan di dalam jiwa ini. Tanpa
apapun yang menghalangi
Termasuk
semua rasa takut ini. Tekadku sudah kuat. Ku lihat jam ditangan
menunjukan pukul 07.30 wib. Ku ambil tas yang sudah ku persiapkan
kemarin malam. Ku langkahkan kaki ku keluar kamar. Dan kali ini aku tak
membawa gitar kesayangan ku karena ku tahu papa pasti takkan suka. Ku
temui teman – teman ku, ku coba katakana niat ku untuk pulang kerumah.
“gue pergi ya. Makasih ya atas semuanya loe semua temen terbaik gue”
Ucap ku pada mereka.
“lo yakin dengan semua ini ?”
Tanya salah satu teman ku, Dyon.
“iya , gue sangat yakin sama keputusan gue.”
Ucapku.
Akhirnya aku pun pergi meninggal kan mereka. Perlahan tapi pasti ku
coba tuk terus telusuri jalan setapat demi setapak. Dengan penuh
keyakinan dan pengharapan yang luar biasa ku inginkan di saat ku tiba di
rumah. Mungkin aku adalah orang yang terbodoh di dunia. Bagaimana tidak
aku tak merasa seperti itu, aku mempunyai kehidupan yang mungkin lebih
dari cukup. Aku punya keluarga yang lengkap daripada teman-teman ku yang
berada di jalanan banyak juga dari mereka yang masih sangat kecil
bahkan baru saja dilahirkan di dunia. Tapi, mereka sudah langsung
merasakan keras nya perjalanan hidup. Setidaknya aku masih beruntung.
Setapak demi setapak tlah ku lewati tak peduli letih seiring kali ini
melangkah dan takkan peduli meskipun terik matahari memanas.Ya, walaupun
tak begitu jauh namun, semuanya begitu terasa. Entah mengapa, atau
mungkin karena rasa takut ku untuk kembali kerumah. Tak terasa seiring
waktu berjalan seiring langkah ku melangkah akhirnya aku sampai juga
dirumah.
Kini, aku sudah berada di depan pintu dan pintu itu terbuka seperti nya
orang rumah berada di dalam. Ku ketuk pintu dan tak lupa pula ku
ucapkan salam. Kini, sungguh tak ku sangka yang membukakan pintu itu
adalah papa. Sorot matanya menatapku tajam dan hal ini sedikit membuatku
merasa takut. Beliau pun melangkah mendekati ku, bathin ini tak karuan
dan bingung apa yang akan kulakukan. Perlahan tapi pasti. Ku peluk dia
ku cium kakinya. Aku sangat lah bersyukur beliau mau menerima permintaan
maaf ku. Ku masuk kedalam tuk menemui chiera. Betapa hancurnya hati
ini, darah ini terasa berhenti, nadi ini senyap merayap sepi. Jantung
ini seakan ikut terdiam. Bagaimana tidak ? adik ku yang dulunya selalu
tersenyum bahagi kini, hanya bisa menahan sakit yang menyiksa yang kini,
menggerogoti tubuhnya. Ku dekati dirinya. Dan ia pun langsung bergegas
memelukku. Rasanya tak ingin lagi ku tinggalkannya, tak terasa air mata
nya ku pun menetes. Aku bahagia karena aku bisa bertemu dengannya. Aku
rindu sekali dengan senyumannya. Dia peluk erat tubuhku seakan tak ingin
ku pergi lagi. Kata papa kondisi adikku semakin parah. Leukemia tlah
membuatnya tubuhnya lemah. Namun, walaupun begitu penyakit itu tak kan
mampu menggerogoti semangat nya ia tetap tersenyum dan mensyukuri hidup
walaupun rasanya sulit sekali. Aku begitu malu pada diriku yang tak
pernah bisa mensyukuri hidup ini. Dan hal ini mampu menyadarkan ku
betapa baiknya Tuhan terhadapku. Aku ingin kembali lagi kejalan – Nya.
Ia berikan keluarga yang luar biasa namun, aku hanya menyiakan nya.
Mulai hari ini aku mau berubah jauh lebih baik.
Hari demi hari terus berlalu tak terasa sudah seminggu aku kembali
kerumah. Semuanya begitu indah. Hari – hari ku lewati dengan menjaga
Adikku karena, aku tak ingin kehilangan Chiera. Aku janji akan
menjaganya, selayaknya seorang kakak kepada adiknya. Demi keluargaku kan
ku tinggalkan semuanya, dunia kelam ku itu kini, aku tak lagi
mabuk-mabukan dan mengkonsumsi obat-obatan terkutuk itu. Aku ingin
mengubah hidupku menjadi berate bagi semua orang.Walau berat, semuanya
butuh pengorbanan dan tekad yang kuat.Apalagi hidupku terasa semakin
indah karena ku tlah ada di jalan-Nya.
Aku dan keluarga tak tahu lagi, bagaimana cara menyembuhkan penyakit yang diderita
Chiera,Adikku.Segalanya
sudah di tempuh mulai dari pengobatan yang ringan sampai Chemotherapy.
Tapi, hari ini tubuh adikku pun menjadi sangat lemas, wajahnya pucat.
Leukemia pada tubuhnya semakin parah. Hari-hari itu kami, sekeluarga
melewatkan nya dengan penuh harap dan doa. Mamaku dan tante Irene
menangis melihat kondisi adikku.
“ jika, hari ini juga Tuhan menganmbilmu , anakku papa rela sepenuhnya”
Ucap papaku yang semakin mengiringi tangisan mama dan tante Irene.
“papa ngomong apa ? adik masih kuat, papa nggak boleh pesimis. Adik pasti sembuh”
Chiera
pun hanya bisa diam walaupun aku tu di menahan sakit yang cukup hebat.
Sungguh begitu kuat nya , dia tak pernah sedikit pun menyerah. Tetapi,
beberapa selang waktu kemudian ia bicara kepada kami semua.
“mama, papa, tante Irene, kakak, terima kasih kalian udah jadi keluarga terbaik buat
Adik. Abang please change your life to night is better, maafkan aku ”
Ucapnya kepada kami.
Kami
semua pun hanya bisa menangis, sungguh hari ini penuh dengan keharuan.
Aku tak menyangka adikku yang dulunya kuat kini hanya bisa terbaring
sakit-sakitan. Andai saja aku bisa menggantikan pasti kan ku ganti semua
nya biar aku saja yang merasakan sakit yang diderita adikku. Tapi, aku
tak bisa apa-apa ini semua sudah menjadi kehendak-Nya.
Berselang
beberapa menit kemudian adikku, chiera meninggal. Betapa hancur hati
kami sunggu berat rasanya aku menerima semua ini. Aku tak percaya kini
aku kehilangannya selama-lamanya. Takkan ku lihat lagi hadirnya. Chiera,
adikku kini tlah tiada.
Waktu kini tlah berlalu kini, ku jalani hariku tanpa kehadiran seorang
adik. Kini ia tlah ada di sisi-nya. Aku menyesal tlah meninggalkannya
selama ini dan kini ia sudah tidak ada lagi. Namun, dia kan selalu ada
di hati kami semua. Keinginan terakhirnya untukku adalah di agar aku
bisa berubah lebih baik. Dan hal itulah yang kini, ku lakukan. Kini, aku
bukan lagi seorang shandy yang suka membuat orang tua kecewa. Kini aku
lah Shandy yang nggak akan menyerah, shandy yang jauh lebih baik. Chiera
boleh saja pergi jauh.Namun, seucap kata terakhirnya mampu membuatku
berubah jauh lebih baik. Kini, aku bisa jauh lebih menghargai arti
hidup, keluarga dan diri sendiri. Kini, aku jauh lebih bisa menikmati
hidupku dengan baik. Hal yang ingin kulakukan adalah bersyukur atas semua yang tlah tuhan berikan, I love you my sister , you’re is a boon in my life .
0 komentar:
Posting Komentar